Menyikapi Orang yang Keliru dalam Mencari Kebenaran.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya;
“(Mereka berdo’a), "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. 2:286)
Syaikhul Islam berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mencari kebenaran yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam sebagiannya, maka Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni kesalahannya, sebagai realisasi dari do’a yang dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk Nabi-Nya dan orang-orang mukmin, ketika mereka mengatakan, artinya, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah." (QS. 2:286) (Lihat, Dar’u Ta’arudl Bainal Aqli wan Naqli, 2/103)
Maka apabila ada seseorang yang telah berijtihad untuk mencari kebenaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka dia diampuni berdasarkan ayat tersebut di atas. Demikian juga jika seorang alim telah mengerahkan kemampuannya untuk mencari kebenaran yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam sebagian masalah i'tiqad (keyakinan), maka dia tidak divonis dengan bid'ah dan tidak dihajr (dikucilkan/ditinggalkan) disebabkan kesalahannya. Meskipun ucapan atau pendapatnya adalah ucapan yang bid'ah, Dan ini adalah sisa postingan saya yang akan saya sembunyikan dan hanya muncul pada saat post page atau link read more..
namun itu tidak mengharuskan dia divonis mubtadi' (ahli bid'ah). Sebagaimana terhadap ucapan kufur, tidak mengharuskan pengucapnya divonis kafir, maka demikian juga tidak mengharuskan divonis sebagai pelaku bid'ah bagi orang yang mengucapkan perkataan bid'ah, kecuali jika syarat-syarat telah terpenuhi dan tidak ada lagi faktor penghalang jatuhnya vonis tersebut. (Lihat al-Fatawa 28/233-234)
Oleh karena itu seorang ulama yang sudah dikenal kebaikannya dan kesungguhannya di dalam mencari kebenaran, kemudian dia keliru dalam satu masalah tertentu dan terjerumus dalam satu kebid'ahan, maka tidak boleh kita katakan sebagai pelaku bid'ah. Kita jelaskan bahwa beliau salah dalam hal tersebut, atau dalam masalah itu dia mencocoki firqah fulaniyah (kelompok tertentu), namun dia bukan golongan mereka dan juga tidak memegang keyakinan mereka .
Namun demikian, meskipun dia dimaafkan, karena telah berusaha maksimal mencari yang benar, kita tetap mengatakan bahwa pendapatnya adalah keliru atau bid'ah, lalu kita harus meninggalkan pendapat tersebut dan mengambil pendapat para ulama lainnya yang lebih selamat. Berbeda halnya dengan orang yang mengambil agamanya dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang tersebut adalah seorang mubtadi' (pelaku bid’ah) dalam pengambilan sumber, dalam ucapan dan i’tiqad (kayakinan).
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, "Kami mencintai sunnah dan ahlinya, kami mencintai orang alim dalam hal yang mengikuti sunnah dan perkara-perkara yang terpuji. Dan kami tidak mencintai segala sesuatu yang diada-adakan berdasarkan ta'wil yang salah, dan penilaian adalah dengan banyaknya kebaikan." (Lihat, Siyar a’lam an Nubala’ 20/46)
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya;
“(Mereka berdo’a), "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS. 2:286)
Syaikhul Islam berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa orang yang mencari kebenaran yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam sebagiannya, maka Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni kesalahannya, sebagai realisasi dari do’a yang dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk Nabi-Nya dan orang-orang mukmin, ketika mereka mengatakan, artinya, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah." (QS. 2:286) (Lihat, Dar’u Ta’arudl Bainal Aqli wan Naqli, 2/103)
Maka apabila ada seseorang yang telah berijtihad untuk mencari kebenaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka dia diampuni berdasarkan ayat tersebut di atas. Demikian juga jika seorang alim telah mengerahkan kemampuannya untuk mencari kebenaran yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dia salah dalam sebagian masalah i'tiqad (keyakinan), maka dia tidak divonis dengan bid'ah dan tidak dihajr (dikucilkan/ditinggalkan) disebabkan kesalahannya. Meskipun ucapan atau pendapatnya adalah ucapan yang bid'ah, Dan ini adalah sisa postingan saya yang akan saya sembunyikan dan hanya muncul pada saat post page atau link read more..
namun itu tidak mengharuskan dia divonis mubtadi' (ahli bid'ah). Sebagaimana terhadap ucapan kufur, tidak mengharuskan pengucapnya divonis kafir, maka demikian juga tidak mengharuskan divonis sebagai pelaku bid'ah bagi orang yang mengucapkan perkataan bid'ah, kecuali jika syarat-syarat telah terpenuhi dan tidak ada lagi faktor penghalang jatuhnya vonis tersebut. (Lihat al-Fatawa 28/233-234)
Oleh karena itu seorang ulama yang sudah dikenal kebaikannya dan kesungguhannya di dalam mencari kebenaran, kemudian dia keliru dalam satu masalah tertentu dan terjerumus dalam satu kebid'ahan, maka tidak boleh kita katakan sebagai pelaku bid'ah. Kita jelaskan bahwa beliau salah dalam hal tersebut, atau dalam masalah itu dia mencocoki firqah fulaniyah (kelompok tertentu), namun dia bukan golongan mereka dan juga tidak memegang keyakinan mereka .
Namun demikian, meskipun dia dimaafkan, karena telah berusaha maksimal mencari yang benar, kita tetap mengatakan bahwa pendapatnya adalah keliru atau bid'ah, lalu kita harus meninggalkan pendapat tersebut dan mengambil pendapat para ulama lainnya yang lebih selamat. Berbeda halnya dengan orang yang mengambil agamanya dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang tersebut adalah seorang mubtadi' (pelaku bid’ah) dalam pengambilan sumber, dalam ucapan dan i’tiqad (kayakinan).
Imam Adz-Dzahabi mengatakan, "Kami mencintai sunnah dan ahlinya, kami mencintai orang alim dalam hal yang mengikuti sunnah dan perkara-perkara yang terpuji. Dan kami tidak mencintai segala sesuatu yang diada-adakan berdasarkan ta'wil yang salah, dan penilaian adalah dengan banyaknya kebaikan." (Lihat, Siyar a’lam an Nubala’ 20/46)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar